WISATA PERPISAHAN SEKOLAH “SOCIAL EMPHATIC TRAVELING”





WISATA PERPISAHAN SEKOLAH
“SOCIAL EMPHATIC TRAVELING”


Wisata perpisahan sekolah di Yayasan Yatim Piatu atau di lokasi korban bencana ? Ya, tidak lazim dilakukan oleh sekolah yang baru menyelesaikan “perjuangan” sangat keras untuk keberhasilan ujian nasional. Anak – anak butuh gembira !, alasan beberapa guru.
Namun dalam rangka melengkapi model pembelajaran “asah kognitif” siswa dengan hapalan dan pilihan ganda menjawab soal ujian nasional. Tidak ada salahnya acara ini dipertimbangkan sebagai rencana kegiatan akhir tahun pembelajaran.

Kejelian guru untuk mengamati bahwa wisata ke tempat hiburan tidak memberikan pengaruh apa – apa bagi perkembangan kepribadian siswa, selain kesenangan sesaat. Banyak orang tua “memaksakan diri” untuk membayar iuran biaya wisata. Kecemasan orang tua untuk kebutuhan biaya kelanjutan pendidikan anak sangat besar. Tudingan orang tua siswa bahwa guru hanya sekadar nunut (gratis). Belum lagi resiko kecelakaan dan tunggakan pembayaran wisata. Seharusnya guru patut meninjau kembali wisata ke tempat hiburan.
Saya sering mengataka dalam “Smart Parenting Talk Show” baik on air di radio maupun off air, bahwa untuk membangun kepekaan siswa dalam memahami realitas sosial meningkatkan kecerdasan emosinya. Pembelajaran dengan menggunakan berbagai metode harus dikembangkan, bukan Cuma pembelajaran di kelas saja. Pada saat siswa dipaksa untuk belajar menggunakan “otak logika” maka hanya ranah kognitifnya saja yang bekerja. Tetapi ranah afektif dan psikomotoriknya tetap kering. Perlunya upaya guru melakukan inovasi pembelajaran berbasis “edutainment” sebagai pelengkap ilmu pengetahuan pasca kelulusan. Kenapa ?

Pertama, karena alasan prestasi akademik siswa tidak selalu sejalan dengan tingkat kepekaan sosial dan kecerdasan emosinya. Mengajak siswa agar bisa bercermin kepada kepada diri sendiri (self awareness) melalui kesadaran bahwa masih banyak anak yang memiliki nasib kurang beruntung. Dapat meningkatkan rasa syukur dan empati sosial siswa. Selanjutnya menumbuhkan suka berbagi dan menolong kaum yang kurang beruntung. Selain itu meningkatkan kemampuan untuk menjalani hidup sederhana dan hemat. Dan mencegah siswa untyuk ikut – ikutan trend dan gaya hidup masa kini yang cenderung hedonis dan konsumtif.

Kedua, rasa menghormati kepada orang tua. Dengan siswa melihat dan mendengar secara langsung dari pengalaman “teman” yatim piatunya yang merindukan kasih sayang dari orang tua kandung atau temannyayang terpaksa belajar di alam terbuka karena sekolahnya hancur menjadi korban bencana akan menggugah hati mereka untuk menghayati arti penting mempunyai rasa hormat kepada orang tua dan guru. Selain itu, siswa akan belajar memahami arti penting pengelolaan waktu (time management).

Ketiga, perjuangan. Setiap kejadian bencana alam atau menjadi yatim piatu adalah sebuah keadaan yang tidak pernah diharapkan sekaligus pengalaman yang menyakitkan bagi setiap orang. Namun bagi korban yang mengalami mereka harus berjuang keras agar dapat bertahan hidup dengan bisa mengatasi kesulitan. Guru harus dapat membuka “mata hati” siswa untuk belajar tangguh menghadapi kesulitan sekaligus meningkatkan kecerdasan menghadapi tantangan (adversity question).

Dan saya rasa, jika ketiga hal diatas betul – betul dihayati guru dapat dipastikan wisata perpisahan sekolah ke lokasi “musibah” adalah alternative yang layak untuk dilaksanakan dan dijadikan agenda tahunan.

Kebanyakan guru hanya terfokus pada kegiatan untuk mendukung kesuksesan “target kurikulum” dan tindakan yang dilakukan adalah memberikan “drill” siswa agar bisa menguasai soal ujian. Artinya guru hanya berfikir mencari strategi yang tepat agar siswa bisa “lolos” menghadapi ujian nasional. Tanpa memperhitungkan lagi kestabilan emosi siswa apalagi kecerdasan.

Namun usaha guru pun juga mendapat tekanan dari berbagai pihak agar kesuksesan dalam pelaksanaan ujian nasional tidak membawa ekses. Akibatnya banyak guru mengalami kecemasan termasuk kepala sekolah. Padahal kecemasan hanya akan membuat keletihan fisik dan psikis.

Karena “ketegangan” yang terus berkembang dan sudah menjadi tradisi sekolah bahwa mengakhiri kegiatan belajar setelah ujian nasional harus dengan mengadakan wisata hiburan, agar siswa kembali riang dan guru bisa senang. Akan tetapi biaya wisata yang ditanggung tidak ringan dan manfaat langsung dari kegiatan itu untuk kepentingan belajar siswa di masa datang belum jelas, kecuali pokoknya gembira.
Banyak juga sekolah yang terpaksa harus “tekor” menutup kekurangan biaya wisata mengingat bahwa tidak semua wali murid dapat melunasi dengan tepat waktu, bahkan ada yang tidak membayar sama sekali.

Padahal aturan tidak membolehkan siswa untuk tidak mengikuti kegiatan itu. Sementara itu tidak jarang orang tua terpaksa merelakan “kursi” yang terlanjur di bayar untuk kosong. Karena anaknya sakit biaya tidak bisa ditarik kembali atau digantikan anak orang lain.

Pada akhirnya sekolah akan mengalami “konflik” di tingkat internal sekolah. Akibatnya pendanaan tidak efektif. Manfaat wisata dalam jangka panjang belum jelas dan orang tua beserta siswa belum tentu puas.

Wisata ke lokasi “musibah”/ daerah yang marginal dan berbeda dengan lingkungan siswa sebelumnya mempunyai beberapa keunggulan.

Pertama, penghematan biaya karena akomodasi terutama angkutan tidak harus standar “pariwisata” apalagi jika acara itu dirancang untuk pengalaman belajar “prihatin diri” siswa cukup dengan menggunakan truk TNI atau DAMRI.

Kedua, pengalaman baru bagi siswa yaitu belajar menghayati arti “penderitaan” dan perjuangan.

Ketiga, bekal untuk siswa mempunyai keunggulan bersaing (competitive advantage) di masa depan melalui pelatihan (spiritual) secara langsug.

Keempat, distribusi / tali asih tepat sasaran karena siswa bisa menyerahkan sendiri “kenang – kenangan” yang telah dipersiapkannya.

Nah, mengenai siswa yang kemudian berlanjut ingin mempunyai teman “asuh” yaitu jika ada siswa yang ingin meringankan beban temannya dengan menjadi donator tetap. Saya rasa hal itu sudah sepatutnya untuk dikoordinir oleh guru dan sekolah bersama lembaga sosial terkait setempat agar peran alumni dapat bermanfaat bagi masyarakat luas.

Namun, perlu diingat niat baik selalu mendapat “tantangan” karena itu tugas guru adalah meyakinkan siswa dan orang tua akan keunggulan bila acara itu dilaksanakan.

Tentunya dengan keterbukaan pendanaan, keamanan siswa dan pengaruh psikologis masa depan pendidikan siswa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kiat Menjadi Guru Profesional Abad 21 (Tuntutan Kurikulum 2013)

Penyebab siswa tak menghargai gurunya dan solusinya..!

PROPHET LEADERSHIP: PEJABAT AMANAH SOLUSI UMAT