LIFE SKILL BUKAN (HANYA) DI SEKOLAH
LIFE SKILL BUKAN (HANYA) DI SEKOLAH
Ketika masih kelas lima SD, Kurniawan sering membuat “pusing” orang tua dan para guru di sekolahnya. Mengapa ? daya khayal, prestasi belajarnya tidak begitu bagus, tetapi “ngomong” nya banyak dan sulit di mengerti. Orang Jawa bilang “kemelipen” terlalu tinggi.
Kemudian, ketika masuk SMP Negeri kelakuannya sebagai “sang pemimpi” masih diteruskan, cukup membuat repot semua jajaran di sekolah itu mulai dari wali kelas, guru mata pelajaran dan kepala sekolah tak terkecuali teman sekolahnya. Pada akhirnya dia hanya punya beberapa sahabat yang bisa “mengerti” perasaannya.
Meskipun sudah diikutkan lembaga bimbingan belajar Kurniawan tak dapat masuk SMA Negeri. Sudah tentu hal ini mengecewakan kedua orang tua terutama ayah. Namun kekecewaan orang tuanya tidak berlangsung lama segera Kurniawan didaftarkan pada SMK Pariwisata dengan pertimbangan pelajaran tidak terlalu berat. Dengan peran sebagai pemimpi besar tidak pernah surut, sehingga tidak banyak teman dan guru menyukainya. Tetapi justru hal ini membuat Kurniawan bisa diterima bergaul oleh teman “seniornya” yaitu mahasiswa yang kampusnya bersebelahan. Maka semakin tinggi wawasan yang dimiliki.
Tidak begitu lama dewi fortuna berpihak kepada Kurniawan, yaitu sejak adanya kompetisi jurnalis siswa yang diselenggarakan salah satu Koran ternama di kota itu. Ia mencoba mengikuti prosedur seleksi sampai akhirnya lolos untuk ajang bergengsi itu, tiga tahun berturut – turut.
Rupanya hal itu melatih Kurniawan memperoleh kesempatan mendapatkan berbagai keterampilan praktis yang sama sekali tidak mungkin di dapat dari sekolah, bahkan dari perguruan tinggi sekalipun. Yaitu keterampilan berpikir, berpendapat dan bertindak secara logis serta penguasaan teknologi komunikasi dan informasi.
Patut disayangkan upaya mengejar mimpi tidak mendapat dukungan penuh dari sekolah. Sehingga untuk mendapat ijin “lolos” meliput kegiatan hanya boleh dilakukan seusai jam sekolah. Maka membolos pun dilakukannya untuk mengejar obyek berita dengan resiko orang tua sering mendapat “panggilan” untuk klarifikasi.
Karena orang tuanya menyadari bahwa Kurniawan sedang menemukan dunianya, maka sang ayah membela mati – matian kenakalan itu dan memohon kepada kepala sekolah agar mendapat keringanan untuk bisa ikut kegiatan walaupun dengan resiko bisa mempengaruhi prestasi hasil belajar.
“Namun, jangan mengira mentang – mentang kamu ayah ijinkan ikut kegiatan itu. Lantas kamu bisa seenaknya”, pesan ayah.
“Kamu harus tahu bagaimana mengelola waktu sekolah dan aktivitasmu. Kamu harus berani mengambil resiko dari kegiatanmu dan bertanggungjawab penuh”.
“Tidak perlu kamu melawan aturan sekolah, karena guru dan kepala sekolahmu menghendaki yang terbaik buat kamu dan sekolahmu”, kata ayah.
Dukungan ayah merupakan pelajaran kemandirian, tanggung jawab dan kepercayaan bagi Kurniawan. Karena itu tidak pernah disia – siakan. Kesempatan yang didapat dari kegiatan luar sekolah dimanfaatkan sebaik – baiknya. Keterampilan tehnis, hubungan antar pribadi, berorganisasi sampai kemampuan menuangkan mimpi ke dalam bahasa tulis. Pengalaman yang didapat itu bisa membantu “pengertian” tentang life skill yang sangat menolong untuk bekal masa depan.
Saat memasuki awal kelas tiga SMK, Kurniawan bergabung dengan majalah kampus sebagai wartawan freelance, hanya berbekal kartu tanda pelajar dan piagam penghargaan kegiatan lomba jurnalis yang pernah diikuti untuk bekal seleksi dan diterima. Di tempat ini ia “dipaksa” untuk bisa beradaptasi menjadi lebih senior dari remaja seusianya dalam berpikir dan bertindak. Tentu saja Kurniawan tidak mengalami kesulitan karena memang sudah lama dikuasainya.
Setelah lulus SMK, seperti lulusan yang lain Kurniawan melamar ke beberapa perusahaan tour & travel. Hanya menunggu waktu satu bulan dia sudah diterima bekerja sebagai tiketing pada perusahaan ternama. Dari proses wawancara diketahui bahwa “pengalaman” kegiatan luar sekolah itu pertimbangan utama dirinya diterima bekerja di tempat itu. Saat ini Kurniawan sudah menjabat Manajer Wilayah salah satu cabang perusahaan di ibukota.
Mencermati riwayat “pendidikan” Kurniawan sudah selayaknya guru dapat mengambil pelajaran.
Pertama, melabel “siswa bermasalah” atas tingkah laku yang tidak lazim sebagai pelajar belum tentu benar. Apalagi jika tidak memiliki data penunjang riwayat kehidupan dan potensi keberbakatan pada diri siswa.
Kedua, siswa yang memiliki “imajinasi tinggi” sebaiknya diberikan kesempatan untuk berani mencoba mewujudkan mimpinya.
Ketiga, sikap bertanggung jawab siswa merupakan dasar life skill yang memotori aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Siswa yang memiliki kecakapan hidup dan tanggung jawab terbangun kepekaan untuk meraih kesempatan meraih peluang keberhasilan menjalani kehidupan di masa depan.
Keempat, siswa yang yakin dapat mewujudkan mimpinya dan mengubah keadaan memiliki semangat juang yang tinggi, strategi tepat dan keyakinan berhasil.
Kelima, siswa yang memiliki keberanian menghadapi sanksi untuk kemajuan dan kebaikan cita – citanya merupakan sikap berani menghadapi resiko. Sikap ini dapat mengasah kepekaan intuisi bisnis.
Keenam, siswa memiliki dasar “interpersonal skill” berguna untuk membangun jalinan kerjasama (net work) yang luas dan berguna untuk keberhasilan bisnisnya di kemudian hari.
Sudah saatnya para guru mengubah paradigma life skill dari hanya belajar secara “tradisional” menjadi bisa di dapat dari luar sekolah.
Komentar
Posting Komentar