SERTIFIKASI GURU DAN PERUBAHAN SIKAP MENTAL BARU
Seorang wali murid yang anaknya “pesimis” tentang hasil kegiatan sekolah bertanya kepada sayam, apakah dengan sertifikasi guru akan meningkatkan kualitas out put anak didik ?
Jawaban saya, sederhana saja, kita lihat saja nanti. Dengan catatan tidak akan ada perubahan secara signifikan yang terjadi jika sikap mental guru professional sebagai pegawai dengan budaya “menurut petunjuk” itu tidak dirubah, mengapa begitu ? Karena sikap mental merupakan motor penggerak yang mendominasi jalan pikiran dan tindakan untu menghasilkan kinerja.
Tanpa adanya perubahan terhadap hal itu, maka sulit mengharapkan mendapatkan hasil yang optimal. Lebih parahnya lagi budaya “menurut petunjuk” itu sudah melekat lama dalam diri seorang guru. Jika tidak ada penghayatan makna kerja “professional” sebagai guru, maka sikap mental tradisional itu akan terus tertanam. Padahal tuntutan dunia pendidikan demikian canggih dan telah berubah pesat.
Senioritas atau tingginya jabatan guru semestinya diiringi juga semakin tinggi mutu kinerjanya. Mengingat Undang – Undang Guru dan Dosen pasal 16 : sertifikasi sebagai bagian peningkatan mutu guru dan peningkatan kesejahteraannya.
Sementara itu kinerja dapat diartikan sebagai kemampuan nyata seseorang dalam melakukan tugasnya secara bertanggung jawab dengan hasil optimal dan menjunjung tinggi semangat profesionalisme. Karena itu, mengubah sikap mental “pegawai” menjadi guru yang betul – betul digugu dan ditiru. Diperlukan penghayatan dn semangat profesionalisme oleh semua pihak guru, masyarakat dan pemerintah. Seperti yang tertulis dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan.
Menyusun sikap mental pelayanan sebagai professional bagi guru, ada sembilan dimensi yang harus diperhatikan :
Pertama, misi dalam pelayanan pendidikan.
Secara tradisional kegiatan mengajar hanya sebagai transfer pengetahuan kepada siswa harus dirubah menjadi membangun kesadaran dan semangat belajar siswa, sehingga
dapat menambah angka partisipasi anak untuk sekolah.
Di sini, proses kegiatan belajar mengajar harus dirancang dan di implemantasikan untuk tugas belajar siswa dan bukan menggunakan siswa sebagai obyek pembelajarn karena target kurikulum. Ini berarti bahwa komitmen guru professional adalah segala upaya untuk kepentingan terbaik siswanya.
Kedua, konsep pembelajaran lama menganggap siswa sebagai wadah untuk dijejali ilmu dengan melaksanakan tugas belajar sesuai perintah guru tanpa alasan apalagi berbeda pendapat.
Konsep pembelajaran saat ini memandang siswa sebagai mitra belajar strategis dengan memberikan kebabasan siswa untuk mengeksploitasi pengetahuan dari berbagai sumber informasi. Tugas guru professional disini bertindak sebagai fasilitator menciptakan pendidikam bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogois sekaligus penguasaan teknologi komunikasi dan informasi.
Dengan demikian setiap guru professional akan mempunyai siswa yang harus diperhatikan dan dikembangkan menurut minat, bakat dan kemampuan dalam satu kelas.
Ketiga, dalam pandangan lama, pekerjaan adalah tugas yang harus dilksanakan sesuai petunjuk pedoman aturan baku yag ditentukan sebelumnya di dalam pandangan baru.
Guru profesional harus menganggap tugas kegiatan belajar mengajar sebagai suatu pemaknaan pengabdian guru. Dimana guru bertanggung jawab terhadap kualitas out put siswanya melalui berbagai teknik evaluasi dari mulai cara pengamatan perilaku (mengetahui siapa siswanya dan bagaimana mereka belajar) sampai tes hasil belajar (merencanakan dan melaporkan efektifitas kegiatan belajar mengajarnya untuk setiap siswa).
Keempat, sikap mental lama guru berpendapat bahwa kualitas out put sangat bergantung kualitas inputnya. Menganggap siswa bodoh sudah dari sononya sehingga upaya apapun tidak ada hasilnya.
Sikap mental baru harus menganggap siswa bodoh itu tidak ada, semua anak pada dasarnya cerdas. Apabila guru tahu bagaimana mengenal keterbatasan siswa dan mengembangkan keberbakatannya. Selain itu, siswa dapat terakomodasi keberbakatannya akan menghasilkan prestasi yang akan mengangkat citra sekolah dan guru pembimbingnya.
Kelima, berbagai iuran atau donator yang dipungut dari peserta didik yang secara tradisional diadakan untuk kegiatan yang tidak accountable dan tidak dapat dipertanggungjawabkan efektifitas penggunaannya.
Harus berubah menjadi kemampuan guru menunjukkan kemanfaatan kegiatan dan target keberhasilannya sehingga menggugah peran serta keterlibatan siswa, orang tua wali murid, masyarakat dinas pendidikan dan pemerintah untuk mendukung. Utamanya apabila kegiatan itu dalam rangka meningkatkan kualitas hasil kegiatan belajar mengajar secara optimal.
Dengan demikian, guru harus berusaha koreksi diri dan refleksi terhadap aktifitas yang dilakukan serta dampaknya dalam pembelajaran terhadap siswa. Sekaligus menuntut guru untuk meningkatkan komitmen secara professional untuk meningkatkan kinerjanya.
Keenam, biasanya penilaian kompetensi guru melalui self appraisal yang dilengkapi porto folio dan lebih bersifat pada laporan adminitrasi.
Di dalam paradigma baru penilaian terhadap guru professional juga perlu dikaji pengukuran “kepuasan” siswa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak semua guru mampu memberikan pengajaran yang berkualitas. Ada yang disebabkan oleh lemahnya manajemen untuk penguasaan kelas, ada pula yang disebabkan oleh kekurangannya dalam penguasaan materi atau kurang persiapan untuk mengajar dikarenakan keterbatasannya mengakses informasi guru – guru macam ini sudah barang tentu akan membuat materi yang diajarkan tidak dapat dikuasai oleh siswanya. Akibat, siswa kesulitan untuk menjawab soal – soal tes evaluasi belajar yang berbuntut pada buruknya kualitas out put.
Mau tidak mau, suka tidak suka guru harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi agen pembelajaran sesuai Standar Nasional Pendidikan serta bersedia meningkatkan kualitas diri melalui belajar berkesinambungan. Agar dapat memenuhi kepuasan pihak stake holder yang berkepentingan terhadap hasil kontribusi nyata dari guru professional.
Ketujuh, salah satu tugas kepala sekolah dalam konsep lama lebih menekankan pada pengawasan dan pengelolaan dari tugas yang telah ditetapkan.
Sedangkan saat ini tugas kepala sekolah harus lebih menekankan pada misi utamanya yang lebih bersifat memberikan dukungan pada pelaksanaan tugas guru untuk bisa mengaktualisasikan kompetensi pedagogic dan kompetensi professional secara kreatif.
Bukan Cuma pengawasan ketat apalagi bersifat administrasi.
Menciptakan situasi kondusif situasi sekolah terutama kepada guru professional dengan memberi motivasi mewujudkan kreatifitasnya merancang strategi berdasarkan karakteristik siswa, kompetensi yang ingin dicapai dan materi ajar yang terukur adalah kepala sekolah yang tidak boleh dilupakan. Supaya guru professional dapat memberikan pelayanan terbaiknya bagi setiap siswa. Karena itu guru professional harus mampu memberikan sumbang saran kepada kepala sekolah agar secepatnya situasi kondusif itu dapat terwujud .
Kedelapan, “penghargaan” pada konsep lama lebih dititik beratkan pada peningkatan pendapatan.
Ke depan sudah selayaknya selain pendapatan tingkat kepuasan psikologisnya guru professional sebagai manusia perlu di perhatikan.
Karena itu, bisa saja penghargaan diberikan dalam bentuk non pendapatan dan bersifat meningkatkan kualitas kompetensinya dalam aktualisasi diri. Termasuk memberi kesempatan guru untuk mengembangkan professionalisme pengetahuan dan praktek lapangan secara berkesinambungan.
Menciptakan “atmosfir” sekolah yang dapat membangkitkan rasa bangga sebagai guru, menumbuhkan etos kerja yang tinggi sebagai pendidik, mendorong guru memiliki perilaku yang berpengaruh positif dan dihargai serta menjadi teladan bagi siswa. Sampai pada akhirnya guru menjadi bagian dari masyarakat pembelajar dalam lingkungan profesinya adalah bentuk penghargaan yang berupa non penghargaan.
Kesembilan, peran orang tua dan masyarakat pada konsep lama tidak banyak dilibatkan oleh guru.
Maka bagi guru professional peranan mereka dapat dibangkitkan keterlibatannya tidak saja dari segi pembiayaan saja. Melainkan sebagai sumber perencanaan, pembimbingan pengelolaan, penilaian, pengawasan dan pelayanan yang diperlukan untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran.
Dengan demikian sekolah dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak terkait dan memperhatikan sumber daya yang dimiliki sekolah maupun sumber daya yang dapat diupayakan untuk digunakan mewujudkan harapan dari siswa, orang tua / wali murid, masyarakat dan pemerintah.
Pemerintah dan masyarakat harus “mengawal” dengan ketat agar kesembilan sikap mental itu “mutlak” dapat dilaksanakan oleh para guru yang telah memperoleh sertifikat professional, jika pemerintah tidak mau disebut memanfaatkan sertifikasi guru sebagai “proyek” atau komoditas politik. Dengan demikian tunjangan profesi seperti yang diamanatkan Undang – Undang Guru dan Dosen dapat terlaksana yaitu meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Semoga
Komentar
Posting Komentar