GURU ITU BISA (SENGAJA) BERSALAH
Seorang anak SD kelas IV lari menuju ibunya sambil membawa rapor kenaikan kelas. Dengan sedikit terisak ia menunjukkan angka 6 pada nilai mata pelajaran menggambar dan angka 8 pada nilai rata – rata kelas untuk mata pelajara itu. Diiringi rasa sedih ia mengeluh “mama nilai menggambarku tidak pernah di bawah angka 8, bagaimana bisa begini !”.
Mendengar kata – kata itu. Wajah ibu mendadak memerah dan ia menjawab, “Sebentar anakku melihat komposisi nilaimu 6 dan 8 pada rata – rata kelas rasanya ada yang keliru dari gurumu sebab sangat tidak mungkin ! Tunggu yah ibu akan segera kembali ke sekolahmu untuk minta penjelasan”. Sang anak akhirnya menjadi tenang dan berlalu meninggalkan ibunya.
Setiap manusia apapun latar belakangnya termasuk guru pasti bisa melakukan kesalahan. Sedangkan kesamaan dalam melakukan kesalahan yang mendasar : lalai, lupa dan sengaja.
Kelemahan ini seringkali diabaikan oleh orang tua siswa. Mereka “terbiasa” berpikir negative terhadap guru, bahwa guru bekerja dengan serampangan terutama dalam memberikan nilai yang benar mengenai kompetensi belajar siswa alias” NGAJI” ngarang biji (nilai akademik). Dan ada yang dilupakan mereka bahwa kebanyakan guru melakukan hal itu tidak mendapatkan apa – apa bahkan tidak jarang merupakan upaya “penyelamatan” siswa.
Guru juga manusia yang memiliki potensi spiritual (SQ) merupakan cerminan dari kesadaran hati nurani meliputi nilai : kebenaran, kebaikan dan tanggung jawab. Mereka juga memiliki rasa bersalah dan rasa berdosa. Tak perlu harus “berkonfrontasi” untuk merubah sikapnya, namun cukup “disentuh” hatinya agar mereka menyadari kesalahannya.
Persoalan menyadarkan orang lain dengan “kasih” ternyata bukan hal mudah. Jauh lebih mudah mengkritik dan mencari – cari kesalahan. Salah satu orang tua siswa pernah mengatakan, “bukannya saya tak bisa berbicara halus. Tapi belum – belum ibu guru itu sudah menolak “klarifikasi” alasannya semua yang ditulis pada rapor sudah dimasukkan buku besar dan sudah “dilaporkan”.
Persoalannya, mengapa seorang guru begitu sulit diajak “kompromi” terutama pada kasus penulisan angka rapor. Menurut saya ada tiga hal penyebabnya dan bermuara pada cara orang tua siswa “menyerang” guru. Pertama, orang tua siswa dibawah pengaruh perasaan tidak bisa menerima kenyataan anaknya diperlakukan “semena – mena”.
Kedatangan mereka ke sekolah menimbulkan kesan pada diri guru bahwa mereka bukan datang menyelesaikan persoalan tetapi posisi siap “perang”.
Sementara itu bagi guru berkonflik dengan orang tua siswa adalah hal yang harus dihindarkan. Akibatnya tindakan guru dianggap menolak di mata orang tua. Padahal kesalahan penulisan angka rapor itu belum tentu mutlak akibat kesengajaan.
Perhatikan bagaimana terdesaknya seorang guru harus mengisi rapor yang jarak antara koreksi ulangan, membuat laporan dan menuliskan nilai ke dalam rapor kurang dari 2 minggu. Itu pun dilakukan setelah atau di sela – sela tugas kegiatan belajar mengajar dan tugas “administrasi”. Sementara itu jumlah angka dari semua mata pelajaran harus ditulis dalam rapor dari sejumlah siswa dalam satu kelas. Maka bisa saja “kecelakaan” penulisan terjadi karena penurunan konsentrasi guru.
Dengan paradigma ini, orang tua dapat menyadari bahwa manusia bisa melakukan “kesalahan” akibat dari turunnya vitalitas guru. Demikian sebaliknya guru tidak perlu takut menerima keluhan dan kritik dari orang tua siswa, mengingat kejelasan yang dibutuhkan mereka adalah kejelasan kasus yang menimpa anaknya.
Kedua, potensi lupa dimiliki setiap manusia. Simak cerita wali kelas atas tindakan seorang guru bahasa Inggris yang memiliki jam terbang tinggi mengajar di banyak sekolah. Ia berkata “saya bingung dengan Pak X sampai hari ini belum menyerahkan daftar nilai siswa. Padahal besok rapor sudah harus dibagikan. Saya hubungi katanya “terserah” saya pokoknya ada nilai. Dan ternyata Pak X termasuk tipe manusia pelupa.
Setiap manusia memang bisa lupa karena bila hal itu terjadi maka guru harus berani meminta maaf dan melakukan tindakan koreksi untuk selanjutnya tidak boleh terjadi lagi. Apa pun alasannya kesibukannya mengerjakan hak siswa mengetahui angka pencapaian hasil kegiatan belajar secara benar, tidak dapat toleransi.
Nilai rapor adalah bukti nyata pencapaian prestasi siswa dalam melakukan tugas belajar selama di sekolah. Dengan demikian guru harus memprioritaskan kepentingan mereka tanpa alasan. Komunikasi antara orang tua dengan guru harus terjalin agar supaya lebih mudah saling koreksi. Untuk kebaikan proses belajar siswa.
Ketiga, sekalipun tidak memberikan apa – apa bagi seorang guru tindakan NGAJI tersebut sengaja dilakukan dengan terpaksa karena menyelamatkan siswa dari putus sekolah tentunya dengan berbagai pertimbangan. Salah satu tujuannya agar anak masih memiliki semangat melanjutkan ke kelas berikutnya dan melakukan upaya perbaikan, pemantapan dalam hal belajar di kelas itu.
Namun jika orang lain tidak “masuk” ke dalam situasi nyata yang dihadapi guru, maka dapat dipastikan mereka sulit untuk mengerti bahkan menuduh guru melakukan perbuatan itu karena ada imbalan, sebab orang tua siswa terlanjur biasa berpikir negative kepada guru.
Menghadapi kasus seperti ini seorang guru harus memiliki kemampuan menyimpan data hasil ulangan siswa secara tertib dan rapi. Mulai dari hasil ulangan harian sampai ulangan semester akhir termasuk data perilaku belajar siswa di dalam kelas. Sehingga orang tua mendapatkan informasi tentang prestasi belajar murni yag dicapai anaknya.
Ke depan diharapkan orang tua dan guru bekerjasama untuk mengatasi kesulitan belajar siswa sekaligus meningkatkannya. Jika memang NGAJI bisa dimaklumi walaupun tidak dibenarkan karena merupakan laporan hasil nyata upaya siswa setidaknya. Orang tua bisa melakukan tindakan tepat pada prestasi belajar anak.
Besar pintu maaf orang tua siswa agar bisa memaklumi “kesalahan” guru. Maka hal itu akan memperkuat optimisme siswa dan guru dalam menghadapi tantangan dunia akademik. Karena pihak telah bersinergi membangun proses pengembangan kompetensi siswa.
Memaafkan mungkin jalan keluar terakhir bagi guru dalam peningkatan profesionalitas tetapi di dalamnya terdapat kekuatan yang memberdayakan mereka tentang arti penting memberikan pelayanan terbaik bagi kepentingan anak didik.
Komentar
Posting Komentar