SERBA SALAH MENJADI GURU
“Menjadi guru saat ini, serba salah! Semua tindakannya selalu menjadi sorotan semua pihak mulai dari siswa, orang tua masyarakat sampai pemerintah”. Itulah keluhan beberapa guru yang saya temui saat berkunjung disekolahnya.
Guru dan sekolah selalu menjadi “tertuduh” telah mengadakan berbagai pungutan tanpa kejelasan efektifitas kegunaannya pada hasil kegiatan pembelajaran siswa. Sejak ada bantuan operasional sekolah dan bantuan lainnya sekolah justru semakin kesulitan dalam pembiayaan karena bantuan baru cair beberapa bulan setelah kegiatan proses belajar mengajar berlangsung. Mayarakat yang terlanjur terbangun persepsinya biaya sekolah itu gratis membuat banyak orang tua enggan peduli mengeluarkan biaya untuk kepentingan pendidikan anaknya baik senagai donator atau untuk pembelian buku dan kebutuhan sekolah lainnya. Bahkan benar – benar menyerahkan kewajiban dan tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya kepada guru di sekolah. Tugas guru menjadi semakin berat dengan adanya berbagai “target” dari masyarakat dan pengawasan ketat instansi terkait. Bukan saja deficit anggaran yang jadi persoalan sekolah melainkan hasil optimal dari kegiatan belajar mengajar sulit dicapai.
Meskipun biaya adalah isu pokok keberhasilan pendidikan namun upaya guru menggugah kesadaran orang tua dan masyarakat untuk terlibat langsung dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan anak didik, harus dilakukan dengan transparansi dan akuntabilitas. Dalam rangka mewujudkan “target” yang ingin diraih bersama. Dengan demikian kecurigaan dari orang tua siswa tidak perlu terjadi karena keduanya telah menjalin hubungan yang harmonis.
Harapan orang tua kepada guru agar anak dapat pelayanan pendidikan secara individual supaya mereka dapat meraih prestasi belajar yang memuaskan. Namun harapan orang tua tidak diimbangi dengan informasi memadai tentang data minat, kemampuan dan bgaimana siswa belajar di rumah bahkan orang tua tidak memiliki perhatian dan kepedulian saat diajak oleh guru bekerja sama menyusun metode pendekatan peningkatan prestasi belajar siswa.
Dengan kondisi seperti ini guru mengalami kesulitan untuk menumbuh kembangkan “potensi terpendam” siswa apalagi jika dalam satu kelas jumlah siswa melebihi batas kontyrol penguasaan guru. Siswa pasti menghadapi hambatan dalam kegiatan belajar karena tidak mendapatkan perhatian yang optimal.
Mengatasi hal ini sebaiknya seorang guru mengambil tindakan yang efektif dengan menggunakan informasi dari hasil proses kegiatan keseharian belajar siswa sebagai dasar membuat keputusan untuk merencanakan upaya peningkatan mutu belajarnya. Mengambil keputusan tanpa dukungan data dan fakta hanya akan menurunkan tingkat kepercayaan siswa dan orang tua.
Seorang guru yang baik dituntut selalu bisa memberikan solusi yang tepat ketika siswa membutuhkan bantuan pemecahan kesulitan menyerap materi pelajaran. Di sisi lain tuntutan kurikulum mengharuskan seorang guru dapat mengembangkan model pembelajaran berbasis siswa. Benturan harapan dan kepentingan ini hanya membuat guru bingung menentukan sikap yang harus diambil. Mengingat guru amat mengenali, bahwa siswa tidak terbiasa dan terlatih untuk belajar menggali pengetahuan secara mandiri minimal budaya membaca bukan kegiatan rutin di rumah. Termasuk orang tua tidak dapat menjadi model budaya gemar membaca. Akibatnya siswa terbiasa bergantung “menu siap saji” yang disediakan guru.
Jika masing – masing pihak hanya menghabiskan waktu untuk mencari penyebab siapa yang salah dalam hal ini, baik orang tua maupun guru berada pada jalur yang keliru. Hal yang dapat dilakukan mereka berdua adalah instropeksi diri dengan melihat apakah masing – masing pihak sudah melakukan upaya tindakan yang tepat dalam peningkatan kemampuan belajar siswa sesuai karakternya. Menciptakan suasana lingkungan belajar yang “menggairahkan” dapat mempengaruhi motivasi belajar siswa. Sebab setiap anak harus bisa memotivasi diri sendiri untuk meningkatkan mutu kehidupan sesuai usia perkembangan.
Siswa tidak naik kelas atau tidak lulus selalu dialamatkan kepada ketidak mampuan guru dalam proses kegiatan mengajar. Padahal kegagalan itu adalah rangkaian “ketidakberdayaan” dari semua pihak siswa, guru, orang tua dan system pendidikan.
Jika orang tua dan masyarakat hanya berupaya mempertahankan pendapatnya sendiri bahwa kegagalan siswa adalah kesalahan guru hal ini merupakan titik awal dari semua perdebatan dan kesalahpahaman yang tidak ada penyelesaiannya. Terlalu banyak waktu untuk memaksa siswa harus berhasil secara sempurna kegiatan belajarnya tanpa mempertimbangkan tingkat kompetensi yang dimilikinya hanya akan membuat mereka tertekan dan putus asa. Selanjutnya menjadi kecemasan tersendiri bagi orang tua dan guru.
Fokus kepada masing – masing keunggulan dan keterbatasan siswa dapat menentukan tindakan yang tepat pada kegiatan proses belajarnya.
Tidak jarang banyak orang tua justru mengambil alih tugas kemandirian dan tanggung jawab siswa atas konsekuensi logis dari tindakannya disekolah. Sementara aturan kedisiplinan sekolah harus ditegakkan sehingga upaya guru membina akhlak dan moral siswa menjadi terhambat. Hal ini dikarenakan orang tua sudah “terkontaminasi” untuk tidak memiliki kepercayaan terhadap sekolah sebagai agen perubahan.
Dedikasi dan loyalitas guru kepada makna kerja sebagai pendidik dengan memperkaya keahlian untuk bertumbuh dan meraih kemajuan akan menepis anggapan yang ada pada orang tua tadi.
Tentu menjadi harapan kita semua kesadaran semua pihak untuk tidak saling menyalahkan dapat mewujudkan cita – cita pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Semoga.
Guru dan sekolah selalu menjadi “tertuduh” telah mengadakan berbagai pungutan tanpa kejelasan efektifitas kegunaannya pada hasil kegiatan pembelajaran siswa. Sejak ada bantuan operasional sekolah dan bantuan lainnya sekolah justru semakin kesulitan dalam pembiayaan karena bantuan baru cair beberapa bulan setelah kegiatan proses belajar mengajar berlangsung. Mayarakat yang terlanjur terbangun persepsinya biaya sekolah itu gratis membuat banyak orang tua enggan peduli mengeluarkan biaya untuk kepentingan pendidikan anaknya baik senagai donator atau untuk pembelian buku dan kebutuhan sekolah lainnya. Bahkan benar – benar menyerahkan kewajiban dan tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya kepada guru di sekolah. Tugas guru menjadi semakin berat dengan adanya berbagai “target” dari masyarakat dan pengawasan ketat instansi terkait. Bukan saja deficit anggaran yang jadi persoalan sekolah melainkan hasil optimal dari kegiatan belajar mengajar sulit dicapai.
Meskipun biaya adalah isu pokok keberhasilan pendidikan namun upaya guru menggugah kesadaran orang tua dan masyarakat untuk terlibat langsung dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan anak didik, harus dilakukan dengan transparansi dan akuntabilitas. Dalam rangka mewujudkan “target” yang ingin diraih bersama. Dengan demikian kecurigaan dari orang tua siswa tidak perlu terjadi karena keduanya telah menjalin hubungan yang harmonis.
Harapan orang tua kepada guru agar anak dapat pelayanan pendidikan secara individual supaya mereka dapat meraih prestasi belajar yang memuaskan. Namun harapan orang tua tidak diimbangi dengan informasi memadai tentang data minat, kemampuan dan bgaimana siswa belajar di rumah bahkan orang tua tidak memiliki perhatian dan kepedulian saat diajak oleh guru bekerja sama menyusun metode pendekatan peningkatan prestasi belajar siswa.
Dengan kondisi seperti ini guru mengalami kesulitan untuk menumbuh kembangkan “potensi terpendam” siswa apalagi jika dalam satu kelas jumlah siswa melebihi batas kontyrol penguasaan guru. Siswa pasti menghadapi hambatan dalam kegiatan belajar karena tidak mendapatkan perhatian yang optimal.
Mengatasi hal ini sebaiknya seorang guru mengambil tindakan yang efektif dengan menggunakan informasi dari hasil proses kegiatan keseharian belajar siswa sebagai dasar membuat keputusan untuk merencanakan upaya peningkatan mutu belajarnya. Mengambil keputusan tanpa dukungan data dan fakta hanya akan menurunkan tingkat kepercayaan siswa dan orang tua.
Seorang guru yang baik dituntut selalu bisa memberikan solusi yang tepat ketika siswa membutuhkan bantuan pemecahan kesulitan menyerap materi pelajaran. Di sisi lain tuntutan kurikulum mengharuskan seorang guru dapat mengembangkan model pembelajaran berbasis siswa. Benturan harapan dan kepentingan ini hanya membuat guru bingung menentukan sikap yang harus diambil. Mengingat guru amat mengenali, bahwa siswa tidak terbiasa dan terlatih untuk belajar menggali pengetahuan secara mandiri minimal budaya membaca bukan kegiatan rutin di rumah. Termasuk orang tua tidak dapat menjadi model budaya gemar membaca. Akibatnya siswa terbiasa bergantung “menu siap saji” yang disediakan guru.
Jika masing – masing pihak hanya menghabiskan waktu untuk mencari penyebab siapa yang salah dalam hal ini, baik orang tua maupun guru berada pada jalur yang keliru. Hal yang dapat dilakukan mereka berdua adalah instropeksi diri dengan melihat apakah masing – masing pihak sudah melakukan upaya tindakan yang tepat dalam peningkatan kemampuan belajar siswa sesuai karakternya. Menciptakan suasana lingkungan belajar yang “menggairahkan” dapat mempengaruhi motivasi belajar siswa. Sebab setiap anak harus bisa memotivasi diri sendiri untuk meningkatkan mutu kehidupan sesuai usia perkembangan.
Siswa tidak naik kelas atau tidak lulus selalu dialamatkan kepada ketidak mampuan guru dalam proses kegiatan mengajar. Padahal kegagalan itu adalah rangkaian “ketidakberdayaan” dari semua pihak siswa, guru, orang tua dan system pendidikan.
Jika orang tua dan masyarakat hanya berupaya mempertahankan pendapatnya sendiri bahwa kegagalan siswa adalah kesalahan guru hal ini merupakan titik awal dari semua perdebatan dan kesalahpahaman yang tidak ada penyelesaiannya. Terlalu banyak waktu untuk memaksa siswa harus berhasil secara sempurna kegiatan belajarnya tanpa mempertimbangkan tingkat kompetensi yang dimilikinya hanya akan membuat mereka tertekan dan putus asa. Selanjutnya menjadi kecemasan tersendiri bagi orang tua dan guru.
Fokus kepada masing – masing keunggulan dan keterbatasan siswa dapat menentukan tindakan yang tepat pada kegiatan proses belajarnya.
Tidak jarang banyak orang tua justru mengambil alih tugas kemandirian dan tanggung jawab siswa atas konsekuensi logis dari tindakannya disekolah. Sementara aturan kedisiplinan sekolah harus ditegakkan sehingga upaya guru membina akhlak dan moral siswa menjadi terhambat. Hal ini dikarenakan orang tua sudah “terkontaminasi” untuk tidak memiliki kepercayaan terhadap sekolah sebagai agen perubahan.
Dedikasi dan loyalitas guru kepada makna kerja sebagai pendidik dengan memperkaya keahlian untuk bertumbuh dan meraih kemajuan akan menepis anggapan yang ada pada orang tua tadi.
Tentu menjadi harapan kita semua kesadaran semua pihak untuk tidak saling menyalahkan dapat mewujudkan cita – cita pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Semoga.
Komentar
Posting Komentar