Seminar Pendidikan Bagi Guru…? (efektifkah !)
Pernahkah dievalusai dan di follow –up berapa persen seminar pendidikan bagi guru di implementasikan di sekolah masing masing…?
Tumpukan bendel sertifikatnya sangat meyakinkan di situ antara lain disebutkan, ijasah lulusan sarjana kependidikan, piagam berbagai diklat pelatihan, semiloka dan sebagainya. Tetapi dampaknya terhadap mutu pembelajaran siswa ? Baik siswa, orang tua dan guru “junior” tak bisa mengerti mengapa kinerjanya tidak begitu maksimal.
Sebabnya cukup kompleks, berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya selama 15 tahun menjadi nara sumber dialog interaktif di radio dan pembicara seminar pendidikan keluarga, ada beberapa hal. Semakin banyak pengetahuan teori orang itu biasanya semakin sulit “berani” mempraktekkannya karena terlalu banyak pertimbangan dan resiko takut gagal. Akibatnya ia terjebak oleh kebanggaan terhadap banyaknya ilmu pengetahuan tanpa dapat membuktikan kebenaran ilmunya. Sehingga diri mereka pun mengalami kelelahan rohani karena memendam perasaan ketidakberdayaan.
Karena itu mengikuti pelatihan / semiloka harus di pilih sesuai kompetensi yang dibutuhkan (need analysis) sebagai contoh jika seorang guru menginginkan pendalaman dan pengayaan tentang perkembangan ilmu pada mata pelajaran yang dikuasai, semestinya pelatihan yang diikuti dapat memperkaya wawasan atas ilmu berikut implementasi dan perkiraan kemajuan perkembangan ilmu itu ke depan. Sehingga bisa memperluas cakrawala dan kebanggaan siswa tehadap ilmu pengetahuan bersangkutan.
Sedangkan sebagai pelengkap menambah wawasan tema “motivasi” akan mengasah seorang guru memiliki kecakapan sosial yaitu sikap mental tentang bagaimana berhubungan dengan siswa, rekan kerja, atasan, masyarakat, pemerintah dan sebagainya. Kecakapan ini sangat dibutuhkan seorang guru sebab terutama siswa yang mereka hadapi biasanya belum matang kapasitas intelektual dan kedewasaan berpikirnya. Kerap kali emosi masih labil sehingga setiap tandak – tanduk gurunya selalu dalam sorotan menimbulkan rasa suka dan tidak suka. Kalau posisi guru kurang dihormati dan disukai siswa maka hasil kegiatan mengajarnya tidak optimal.
Ilmu pengetahuan yang di dapat dari pelatihan / semiloka semestinya dapat ditetapkan jika guru tidak berpikir bahwa teori itu tidak bisa diterapkan karena merupakan sesuatu yang baru, beda Negara dan yang berbicara pada akademisi tidak tahu medan yang dihadapi guru selama mengajar atau memang teori yang didapatkan tidak bisa diterapkan karena situasi sekolah dan suasana belajar siswa tidak memungkinkan. Kedua – duanya merupakan penyebab seminar bukan Cuma sekadar menambah pengetahuan guru bertambah tanpa hasil nyata melainkan juga membuang waktu percuma bahkan meninggalkan jam mengajar sekaligus merugikan siswa, tetapi sayang guru terjebak pada berburu sertifikat.
Konsentrasi kepada masing – masing kompetensi siswa adalah sangat penting. Terlalu cepat mengambil kesimpulan seorang siswa kesulitan menyerap pelajaran sebagai anak bodoh adalah kekeliruan besar. Betapa banyak guru yang berdalih siswa daya serap IQ rendah, tidak memiliki motivasi belajar, rendahnya harga diri siswa orang tua tidak mendukung dan sebagainya. Nah, dalam keadaan demikian seorang guru harus berkonsentrasi pada aspek terpenting teori yang sudah diserapnya dari seminar dan sudah dikuasai.
Tanpa kemampuan itu seorang guru pasti akan sulit mnerapkan ilmunya. Ia bahkan mengalami kejenuhan bahkan frustasi sehingga kegiatan belajar mengajar (KBM) tidak berlangsung efektif. Akhirnya siswa juga tidak mendapatkan apa – apa dari guru yang banyak “ilmunya”.
Untuk menerapkan teori dari seminar yang sudah diikuti dan dibutuhkan kejelian guru memilih moment yang tepat untuk melakukan aktivitas di kelas. Mari kita ambil contoh untuk melatih keterampilan berpikir siswa dalam sebuah model pembelajaran percobaan dan penelitian maka tidak cukup hanya mengandalkan metode hapalan. Melainkan dengan merangsang siswa untuk berpikir imajinatif dan kritis. Berpikir imajinatif memproduksi kemampuan identifikasi, asosiasi, perhatian, menggali informasi dan strategi alternative memecahkan masalah dan berpikir kritis menghasilkan kemampuan, mengevaluasi, penilaian, pengelompokan dan membuat kesimpulan. Itulah sebabnya guru dituntut dapat menerapkan ilmunya sesuai saat yang tepat agar dapat mencetak siswa yang bisa menyamai ilmu pengetahuan berdasarkan pengalaman belajarnya.
Ragu – ragu adalah penghambat guru untuk menerapkan ilmu yang sudah di dapatnya. Meskipun ia tahu bahwa keadaan di sekolah tidak sesuai dengan kaidah – kaidah yang sudah dimengerti tetapi enggan memperbaiki karena ragu – ragu. Mengingat upaya untuk memperbaiki kondisi iklim sekolah terlalu besar resikonya maka guru memilih “status quo” atau pura – pura tidak tahu .
Dengan sikap mental seperti ini bisa di hitung berapa banyak waktu biaya dan energi guru, guna mengikuti berbagai seminar terbuang percuma. Kalau pada akhirnya tidak membawa perubahan apa – apa pada kinerjanya di sekolah maka sudah selayaknya selektif memilih seminar. Tidak mendapat dukungan dari rekan kerja dan kepala sekolah, kalau hal ini terjadi maka kreativitas guru bisa mati. Niat mengadakan perbaikan – perbaikan pasti di kubur dalam – dalam daripada menimbulkan “friksi” sesame rekan kerja.
Lebih fatal lagi jika kepala sekolah terlalu otoriter dan sulit diajak kompromi dapat dipastikan para guru di sekolah itu hidup dalam kecemasan karena “tekanan”. Selanjutnya sulit memperbaiki serta mengembangkan potensi minat dan keberbakatan siswa dalam bidang akademik dan non akademik. Motivasi guru mengikuti seminar, mudah mudahan bukan Cuma berburu sertifikat guna kepentingan porto folio melainkan kesadaran guru meningkatkan kompetensi mengajarnya untuk kepentingan kemajuan belajar siswa. Karena setelah berseminar seorang guru masih harus berjuang mengalahkan ketidakberanian penerapannya yang lebih bersifat internal persoalan pribadi. Dan harus pandai mengatur strategi menghadapi situasi eksternal yang tidak mendukungnya. “Ibu guru jangan Cuma sibuk seminar, yah !
Komentar
Posting Komentar